pelantar.id- Azan asar baru saja selesai berkumandang. Dayat langsung bergegas menyiapkan kostum Pikachu dan topeng menyerupai wajah badut miliknya.

Tak lupa ia memeriksa speaker yang ukurannya tak lebih besar dari ukuran aki motor beserta kartu memori berisi lantunan lagu.

“Oke semuanya siap, berangkat!” seru Dayat.

Ia pun langsung berangkat menuju perempatan lampu merah Laluan Madani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Simpang Jam. Pria berusia 24 tahun asal Palembang ini sudah empat bulan mengadu nasib di Batam. Covid-19 turut membuat kantungnya cekak.

Ia yang sebelumnya bekerja sebagai buruh bangunan, terpaksa harus dirumahkan karena proyek yang dihentikan. Sebelumnya Dayat sudah mencoba mencari pekerjaan lain. Namun, di tengah kondisi yang tak pasti, usahanya tak membuahkan hasil.

Beberapa rekannya di proyek sebelumnya pun mengajak ia untuk menjajakan aksesori mobil di lokasi saat ini ia tampil sebagai badut penghibur. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil tetap.

“Aksesori mobil itu jarang ada yang beli. Dalam sehari ada yang beli dua biji aja udah syukur,” katanya.

Pilihannya beralih menjadi badut pun karena melihat rekannya terlebih dahulu. Ia kemudian menawarkan diri untuk menjadi badut dengan menyewa kostum seharga Rp20 hingga Rp50 ribu tergantung pada pendapatannya dalam satu hari.

Keringat sesekali menetes dari lubang yang berada pada posisi hidung topeng badutnya. Dayat mengaku, pekerjaannya saat ini dilakukannya karena tak ada lagi pilihan. Menjadi badut di lampu merah dirasa menjadi opsi paling tepat sejauh ini.

“Sehari itu aku biasanya mulai dari jam empat sore sampai jam delapan malam. Ya rata-rata bisalah bawa pulang Rp100 ribu. Lumayan buat bayar kos sama ganjal perut,” kata Dayat.

Selain itu, perlahan-lahan Dayat pun menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli kostumnya sendiri. “Ini sih yang aku pakai kostum biasa, beda kayak kostum badut yang mirip sama karakter aslinya yang dulu kusewa. Ini kubeli Rp500 ribu plus sama speakernya,” katanya.

foto: seniberjalan.com

 

Dirazia Satpol PP

Selama dua bulan menjadi badut di lampu merah, Dayat mengatakan tak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari pengendara bermotor.

Sementara pengalaman terburuknya sejauh ini adalah ikut terjaring razia oleh Satpol PP Pemko Batam. Ia pun diangkut bersama rekan-rekannya sesama badut dan hanya diberi peringatan saja.

Sedikitnya terdapat empat pemeran badut yang ada di simpang Laluan Madani. Keempatnya pun masing-masing sepakat untuk tampil saat tak ada pameran yang lebih dulu menempati salah satu dari empat persimpangan yang ada. Atau di banyak kesempatan, keempatnya bergiliran tampil di satu simpang yang sama.

“Kalau aku, seringnya di sini emang tiap hari,” kata Dayat sambil menunjuk pengendara bermotor yang berlalu dari arah Baloi menuju Tiban.

Sementara di lajur arah Tiban menuju Batam Center dan Simpang Kabil, menjadi lapak langganan Oshi (19). Remaja tanggung ini mengaku sudah hampir lima bulan menganggur.

Sama halnya seperti Dayat, Oshi juga sebelumnya sempat menjajakan aksesori mobil. Nasib keduanya pun tak jauh berbeda.

“Pernah malah dalam empat hari dagangan tak ada yang beli,” ujarnya.

Didorong pengalaman singkat berjualannya itu, ia pun tertarik untuk menjadi pemeran badut. Dengan kostum badut Mickey Mouse hasil pinjaman, ia akhirnya tampil untuk kali pertama pada sore hari Lebaran Idulfitri kedua.

Sebagai badut pemula, ia tak hanya canggung. Tapi juga malu. Oshi berkisah, meski sekujur tubuhnya tertutup kostum badut, rasa malu tetap menyelimutinya.

Barisan pengendara bermotor hanya dilewatinya beberapa langkah saja saat menenteng kantung plastik bekas permen sebagai wadah uang. Hari-hari awalnya sebagai pemeran badut pun banyak dihabiskan di trotoar.

“Tapi ya makin ke sini akhirnya kebiasaan juga lah,” katanya sambil cekikikan.

Kini Oshi pun sudah luwes bergoyang dan kebal dengan pengendara yang cuek saat disodorinya kantung bekas permen.

Sebagai “pemain junior “ di simpang itu, Oshi masih sering meminjam kostum badut dari rekannya yang lebih dulu turun lapangan. Sebagai gantinya, uang yang ia dapat pun akan dikumpulkan berdua bersama pemilik kostum sebelum akhirnya dibagi sama rata.

“Ya paling dipotong sedikit buat uang sewa kostum,” timpalnya.

 

Berharap Kembali Bekerja di Industri

Dayat dan Oshi pun sama-sama punya harapan: corona segera berlalu dan keadaan kembali normal seperti sedia kala. Terlebih Oshi, jiwa mudanya yang haus akan pengalaman lebih ingin berkecimpung di dunia industri manufaktur.

Selesai menuntaskan pendidikan tingkat menengah kejuruan di salah satu sekolah swasta kenamaan di Batam, keinginannya memang bekerja di sebuah perusahaan sembari duduk di bangku kuliah. “Panas, capek, penghasilannya juga gak tentu kerja kayak gini. Semoga cepat ilanglah Corona ini,” kata Oshi.

 

(ftr)