#FiksiPelantar
Pelantar.id – Edisi #FiksiPelantar kali ini menapilkan fiksi mini karya seseorang yang menamakan dirinya Delirium Sunyi.
Lima fiksi karya pria ini bercerita tentang pergolakan diri dalam keseharian hidup yang mungkin memiliki warna berbeda-beda dan juga misterinya.
Jadi, selamat membaca.
*****
Prajurit Jaga Malam
Seminggu sudah aku pidah ke sebuah rumah di bilangan Batuaji. Setiap malam aku selalu mendengar suara “teng teng teng” seperti bunyi tiang listrik dipukul menunjukkan waktu dini hari.
Pukul 1 bunyinya 1 kali, pukul 2 bunyinya 2 kali dan pukul 3 berbunyi 3 kali. Pukulan pada tiang listrik itu selalu berhenti pada jam tiga pagi.
Penasaran karena baru seminggu tinggal di kawasan yang dahulunya kavling dan disulap menjadi perumahan, maka aku coba bertanya pada Pak RT
Ia katakan, perumahan kami tidak ada petugas ronda kelilingnya, semua pengamanan hanya berjaga di gerbang depan, keliling pun mereka tidak memukul tiang jalan.
Namun sebelum pergi, RT-ku menceritakan bahwa dahulu saat kawasan ini masih berbentuk kavling dan persis di depan rumahku seorang hansip ditemukan meninggal dunia tanpa sebab yang pasti pada pukul 3 pagi.
*****
Pakai Helm Biar Aman.
Di sebuah persimpangan jalan di negeri tusuk gigi terjadilah tabrakan. Seketika penduduk negeri itu beramai-ramai menciptakan kerumunan. Seorang pria tak dikenal datang menuju ke arah korban yang terkapar bersimbah darah. “Buka aja helm dia mas”, dan darah seketika mengalir dari telinga dan kepalanya.
*****
Mencari Jati Diri
Bertahun-tahun sudah kami tak pernah lagi saling kenal. Meski saban hari terus berjumpa, hal terhangat yang aku lakukan hanyalah menatapnya selama mungkin.
Seperti pagi itu, sembari merapikan rambut di depan kaca aku coba menatap erat matanya. Kami pun hanya saling lempar senyum, tak ada percakapan, seolah-olah orang asing yang berusaha saling menegur.
Hingga suatu hari aku memberanikan diri menghubunginya lewat telepon. Namun yang aku terima hanyalah jawaban suara operator.
“Nomor yang ada hubungi sedang sibuk. Silakan hubungi beberapa saat lagi”.
*****
Amorfati
Martin seorang aktivis kampus, penggiat literasi dan penggemar filsafat. Saban hari kemana-mana dia membawa buku Nietzsche. “Amorfati fatum brutum”, “cintailah takdir walau takdir itu kejam, bung” ujarnya kepadaku.
Seminggu berselang, aku melihat Martin tertegun sendirian. Buku Nietzsche tidak lagi digenggaman, wajahnya terlihat sendu dan murung, seperti rona senja nan mendung.
Hari itu dia menangis tak karuan, teriak juga sekecang-kencangnya. Putus cinta membuatnya jadi mellow, mengalahkan amorfati fatum brutum itu brow.
*****
Kembali Tersenyum
“Sore yang kelam” pikirku sembari menghabiskan waktu di suatu petang.
Dalam perjalanan menuju rumah aku melihat orang-orang tersenyum, sementara saban hari tubuhku murung.
Sepasang kekasih duduk di cafe mewah memagang smartphone di tangan, mereka tersenyum seolah dunia ini indah.
Seorang pria duduk di emperan ruko, bermain gadget sembari menghisap sebatang rokok, ia tersenyum media sosial tak pernah membuatnya murung.
Seorang perempuan pekerja berjalan lelah sendirian, bermain gadget ia tersenyum menatap layar mungkin membaca pesan-pesan kekasihnya.
Di depan perempuan itu, seorang ibu berjalan kaki membawa anaknya sembari menelfon, berpapasan mereka saling menyapa dan tersenyum.
Di persimpangan jalan 5 menit selepas itu. Pesan masuk ke WhatsAppku dari seorang perempuan. Sembari membawa kendaraan kubuka pesannya. Dentum tabrakan, orang-orang murung, aku tersenyum.
*****
Penulis bisa ditemui di Instagram: @deliriumsunyi
Credit: Lukisan Kereta Kuda karya Affandi Koesoema via Pinterest