Penulis: H.M Chaniago

Prostitusi bukan hanya soal dosa, tapi soal keadilan nafkah yang tak merataNajwa Shihab.

Pelantar.id – Berbicara tentang prostitusi tak bisa kita lepaskan dari sejarah peradaban dunia. Sedari dulu hingga kini praktik prostitusi merupakan fenomena sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Berkembangnya industri pergonglian, ini tak juga bisa dipisahkan dari aspek penawaran dan permintaan. Pun di dalamnya terkandung kompleksitas problema sosial hingga ekonomi. Prostitusi pun akhirnya menciptakan dilemanya tersendiri.

Berangkat dari sisi historisnya, berkembangnya prostitusi sedari dahulu memang ada karena tingginya permintaan pasar. Misalnya di Batam banyak pekerja asing atau ekspatriat yang tidak membawa istrinya.

Sehingga pengaruh mereka (asing) bahkan sedari zaman kolonial akan perkembangan prostitusi sangat besar, disebabkan kebutuhan biologis yang tak bisa mereka bendung dan adanya penawaran dari penjaja seks komersil.

Dalam momentum tertentu kita juga melihat prostitusi tumbuh seiring peningkatan dan perluasan populasi suatu wilayah. Dalam sebuah catatan yang pernah saya baca di internet, pola ruang pertumbuhan area prostitusi secara garis lurus mengikuti perkembangan pola ruang pertumbuhan suatu wilayah penduduk. Artinya kepadatan suatu wilayah, selain berdampak pada ekonomi juga pada ketersedian ruang prostitusi.

Walau terdapat pemahaman komoditas seks merupakan hal yang tidak dapat diterima dalam tatanan masyarakat moralis, atau perihal stigmatisasi buruk yang selama ini melekat.

Sayangnya, hal ini malah menciptakan anti-tesisnya sendiri. Karena fakta menampilkan, industri prostitusi terus berkembang sepanjang zaman baik ilegal maupun di kawasan lokalisasi resmi.

 

Pola Prostitusi di Batam Selalu tak Jauh dari Kawasan Industri

 

Kawasan industri di Batam terbagi antara industri galangan perkapalan (shipyard), elektronik, dan pusat perkantoran. Selama ini Batam cukup didominasi industri sektor galangan kapal (Tanjunguncang, Kabil, Batuampar dll) dan elektronik (Batamindo, Latrade, Sincom dll).

Dua industri ini notabenenya banyak diisi oleh kelompok pria, terutama industri galangan kapal. Dalam hal ini, kecendrung suply and demand (permintaan dan penawaran) akan kebutuhan biologis juga dipengaruhi oleh kaum pria. Sehingga berimbas pada tumbuhnya tingkat prostitusi.

Misalnya di kawasan Tanjunguncang, Batuaji. Dua pusat prostitusi yang ada di sana, yaitu kawasan Lokalisasi Sintay (Teluk Pandan) dan Pokok Ceri (Hyunday). Keberadaan dua kawasan ini disokong oleh kawasan industri galangan kapal di sekitarnya.

Kita memahami, banyaknya permintaan akan hal ini dari pria hidung belang berbanding lurus dengan ketersediaan perempuan bunga latar. Contohnya, sebagian dari pekerja galangan ada yang berasal dari luar kota, tinggal di Batam sendirian sementara istrinya berada di kampung halaman. Kebutuhan biologis yang tak terbendung, membawa sebagian dari mereka menuju jurang tumbuhnya prostitusi.

“Banyak yang datang ke lokalisasi Sintai adalah dari pekerja galangan kapal. Anjloknya industri galangan kapal juga berimbas pada pendapatan bar-bar di Sintai,” ujar Nasyir, seorang Ketua RW di Teluk Pandan, Sintai.

Pendapat Nasyir di atas menunjukkan bahwa adanya kedekatan antara penyebaran zona industri dan zona prostitusi. Karena hal ini juga bisa kita lihat pada kawasan prostitusi di sekitaran Pokok Jengkol yang masuk di antara dua kecamatan Sagulung-Batuaji.

Kawasan Pokok Jengkol persis tak jauh berada dari zona industri galangan kapal. Beberapa perusahaan galangan, secara tidak langsung pekerjanya menjadi penikmat sajian di kawasan prostitusi Pokok Jengkol. Hingga kala industri di sana mulai redup, turut berimbas pada pendapat perempuan malam di lokasi tersebut.

“Dahulunya kawasan ini telah ramai pengunjung sedari jam 8 malam. Kini sejak galangan banyak tutup, di sini juga ikut redup,” terang Bella, salah seorang pekerja di Pokok Jengkol.

Tak dipungkiri lagi, penyebaran kawasan prostitusi di kota Batam lebih banyak berada di sekitar kawasan industri. Kita bisa lihat juga dengan kawasan prostitusi lainnya seperti Teluk Bakau, Nongsa. Keberadaan kawasan ini didukung oleh zona industri di sekitarnya. Karena supply dan demand itu ada di sana.

Sementara itu, beberapa kawasan prostitusi lain di Batam bisa dikatakan turut ada di kawasan industri yang bersifat perkantoran. Seperti prostitusi elite di Kampung Bule, Bukit Senyum, dan kawasan belakang Bank BCA Jodoh.

 

Ketika Prostitusi Menjadi Bagian Supply and Demand

Rendahnya bobot ekonomi suatu daerah ditunjang dengan tingginya ketimpangan sosial yang ada, sehingga secara garis besar hal ini menjadi ceruk tersendiri akan keberadaan prostitusi.

Meningkatnya biaya hidup yang tidak balance dengan bobot personal seseorang ketika memasuki pasar tenaga kerja, pun ditengarai menjadi penyebab utama berkembangnya prostitusi.

Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, perempuan dengan pendidikan yang cenderung rendah akan memilih pekerjaan pada sektor non-formal. Alternatifnya pilihan pekerjaan dalam dunia prostitusi memberikan tawaran penghasilan yang lebih besar (Kibicho, 2005) via Medium Varrel Vendira.

Meski kita memahami banyak pekerjaan layak dan pekerjaan lainnya bagi golongan masyarakat berpendidikan rendah. Namun kecenderungan pada dunia prostitusi ini bisa meningkat, karena efek materi yang ditawarkan cukup menggiurkan.

Meski stereotype-nya tergolong buruk bagi masyarakat umum, namun pekerjaan ini terus semakin berkembang karena supply dan demand yang ada. Keberadaan kaum pria hidung belang tentu semakin memperpanjang nafas hidup perempuan bunga latar di kancah prostitusi.

Malah selama ini kita hanya memberikan stigma negatif pada kaum perempuan yang menawarkan kebahagiaan singkat satu malam, tanpa lebih dahulu berpikir adanya mereka juga karena pengaruh keberadaan permintaan dari sisi biologis pria.

Hal lainnya, bisa saja kawasan prostitusi di Batam dihapuskan oleh pemerintah, asal pemerintah juga memikirkan ke mana arah perginya mereka selepas itu. Misalnya membekali mereka dengan kepandaian menjahit, salon, membantik dan lainnya. Karena bagaimana pun negara juga bertanggung jawab terhadap keberadaan perempuan di kawasan prostitusi.

Seperti apa yang pernah diungkapkan Najwa Shihab, “Prostitusi bukan hanya soal dosa, tapi soal keadilan nafkah yang tak merata.”