Penulis: H.M Chaniago
Jempol ini adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu – Bissu Saidi.
Pelantar.id – Di Batam saya pernah punya teman lama keturunan asli suku Bugis, Adam namanya, bapaknya dipanggil Pak Andi. Di lingkungan yang sama, saya dan Adam juga mengenal seorang pria Bugis lainnya, jauh lebih tua dari kami. Orang-orang memanggilnya Daeng, pun begitu dengan saudara perempuannya, juga dipanggil Daeng.
Bertahun-tahun selepas itu, saya mendengarkan kabar ada seorang anak SD yang mendadak hilang sepulang sekolah, padahal Kakaknya saat itu datang menjemput. Orang-orang mengatakan bocah SD itu dibawa oleh seorang perempuan melalui pintu gerbang belakang sekolah.
Bocah kecil yang hilang itu bernama Andi Takdir, kakak perempuan yang menjemput dia sehari-hari bernama Andi Ririn. Sementara saat saya terus mencoba mengikuti kasus ini, saya bertamu ke rumah keluarga bocah tersebut, bersama teman se-profesi.
Kami di sambut perempuan berumur sekitar 30’an, memperkenalkan diri dengan nama Andi Wiwik. Usut punya-usut belakangan ini disebutkan oleh Andi Wiwik bahwa Andi Takdir telah ditemukan, saat ini Ia berada di Makassar, Sulawesi Selatan bersama orang tua kandungnya, dan yang membawanya diam-diam saat itu adalah kakak kandungnya sendiri, bernama Andi Taskira.
Saya tak ingin berpanjangan-panjang kata dan berbuih mulut untuk menceritakan kronologis kejadian ini secara rinci. Setelah mendapatkan data lengkap tentang keberadaan Andi Takdir, percakapan kemudian beralih ke hal lain bersifat kultural.
Karena saat itu timbul pertanyaan spontan, kenapa seisi rumah dalam keluarga ini bernama Andi? Pertanyaan lambat laun terjawab, bagi mereka asli Bugis nama itu melekat pada golongan biru atau ningrat, dan saat nama mereka disebut, “Andi” tidak bisa dipisahkan dengan nama selanjutnya. Jadinya acap kali tiap saya bertanya harus memanggil nama lengkap kepada Andi Wiwik ini.
Andi, Daeng, Petta dalam Suku Bugis
Nama Andi atau Andy am kita temukan di tengah masyarakat. Bahkan Warhol, seniman Popart terkenal sejagad raya dari negara barat juga bernama depan Andy, pun jangan tanya di Indonesia, nama Andi bejibun.
Hal yang menjadi pembeda antara “Andi” bangsawan Bugis dengan Andi rakyat biasanya jika dirunut dari historikalnya adalah pada penempatan nama. Bagi orang Bugis keturunan Andi, nama itu disematkan di awal. Seperti nama-nama yang saya sebutkan sebelumnya. Terlepas dia perempuan atau laki-laki.
Merunut catatan Prof. Mattulada penggunaan gelar “Andi” ini dimulai sekitar 1930-an ketika para kepala swapraja dan keluarga bangsawan Bone ingin memudahkan identifikasi keturunan untuk keluarga-keluarga raja.
Dalam catatan Profesor yang namanya menjadi ikon aula utama Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Makassar ini, disebutkan, sebelum penggunaan nama Andi, bangsawan Bone menggunakan istilah seperti; Puatta, atau Petta untuk menujukkan bangsawan berkuasa.
Lalu bagaimana dengan Daeng? Dalam ragam catatan bebas di internet. Persoalan pemanggilan Daeng ini pernah menjadi perbincangan serius kala Ruhut Sitompul memanggil Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng”. Persoalannya adalah pemanggilan daeng itu sendiri tidak selalu dimaknai dengan abang/kaka, mas/mbak, uda/uni seperti di suku lain.
A. Firdaus Mananring dalam sebuah artikel berjudul “Mengenal ‘Daeng’ dalam Tradisi Bugis Makassar” pernah diterbitkan portal Hello Makassar, menyebutkan bahwa ‘Daeng’ bisa dibedakan antara Paddaengang dan Daeng.
Untuk Paddaengang disebutkan lebih jelas berupa Gelar ((Tu Baji’)) atau ((Tu Ruayya arenna)) untuk orang-orang khususnya suku Makassar, hanya mereka yg keturunan Daeng lah yg berhak menyematkan gelar tersebut kepada keturunannya kelak.
Sementara kebanyak saat ini ‘Daeng’ yang lazim disebutkan lebih tepatnya kepada perempuan maupun laki-laki atas dasar penghormatan kepada yang lebih tua.
Hal lainnya, Petta. Berdasarkan pernyataan Andi Wiwik, salah seorang keturunan suku Bugis di Batam, yang saat itu juga didampingi ibu kandungnya. Disebutkan bahwa Petta lebih tepatnya penyebutan gelar bagi kaum bangsawan yang rata-rata telah menikah atau berumur di atas 50 tahun.
“Seperti Ibu saya ini, kan gak etis lagi dipanggil ‘Daeng’, jadi panggilannya lebih kepada ‘Petta’,” ujarnya.
Perspektif Gender dalam Kehidupan Suku Bugis
Dahulu kala, Bissu Saidi sebelum Ia wafat, ketika akan menuliskan gender (jenis kelamin) apakah sebagai laki-laki, perempuan, atau waria. Saat itu Ia menjawab “Tidak nak. Saya ini bissu. Bissu itu sendiri,” jawabnya, seperti yang dituliskan Eko Rusdianto dalam artikel kebudayaan berjudul ((Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan)) di laman Historia.Id.
Saat itu Bissu Saidi disebutkan membuka telapak tanggannya, dan menampilkan jemarinya sembari menjelaskan analogi khusus seperti; Jempol ini adalah bura’ne (laki-laki), kelingking adalah makunrai (perempuan), telunjuk adalah calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah untuk bissu.
Secara garis besar di masa lampau, seperti itulah suku Bugis memandang gender dari perspektif kultural mereka. Ia sendiri sebagai Bissu adalah perlambangan dari konvensi spritual yang menjembatani kehidupan manusia dan sang hyang.
Sementara itu untuk bura’ne (laki-laki) dan makunrai (perempuan) merupakan hal yang lumrah kita dapati dalam basis kehidupan dan semiotika bahasa. Menariknya adalah pada calabai (waria) dan calalai (tomboy).
Secara kultural gender ini diakui atau diterima dalam khazanah budaya Bugis kuna. Bahkan Muhlis Hadrawi, seorang peneliti sosial dan filologi dari Universitas Hasanuddin seperti yang dituliskan Historia.Id mengatakan bahwa tak ada pertentangan atau bahkan tindakan untuk menekan dua gender ini dalam keseharian. “Mereka hidup layaknya seperti orang lain,” jelasnya.
Hanya saja, tambah Muhlis, seiring datangnya kebudayaan baru dan pengaruh keagamaan seperti Islam dan Kristen yang masuk ke Indonesia saat itu, perubahaan tak lagi bisa dielakkan.
Muncul dan diterimanya budaya baru dan konsep keagamaan itu menempatkan pembagian gender lebih kepada kodrati; laki-laki dan perempuan. “Dari sini, calalai, calabai dan bissu, akhirnya menjadi masyarakat kelas dua,” terang Muhlis.
Meski begitu, dalam perspektif pemanggilan seperti nama depan Andi, atau penyebutan Daeng. Hal ini menunjukkan suku Bugis sendiri tidak mengkotak-kotakan perempuan dan laki-laki dalam dua bahasa berbeda. Karena Andi atau Daeng pada dasarnya disematkan pada kaum tertentu tanpa memandang dia perempuan atau pria.