Penulis: H.M Chaniago

Apa kabar penyair kami, Wiji Thukul? Presiden yang sekarang telah menjanjikan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk penghilangan salah satu penyair penting negeri ini. Realisasi? Nol besarEka Kurniawan, Satrawan Indonesia.

Pelantar.Id – Secara mengejutkan, Selasa tanggal 9 Oktober 2019 satrawan terkenal Eka Kurniawan mengumumkan bahwa ia telah menolak penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Dilansir dari laman resmi Facebooknya, ia mengeposkan pernyataan yang diberi judul “ANUGERAH KEBUDAYAAN DAN MAESTRO SENI TRADISI 2019, Apakah Negara Sungguh-Sungguh Memiliki Komitmen dalam Memberi Apresiasi Kepada Kerja-Kerja Kebudayaan?”

Dalam tulisan tersebut penulis novel “Cantik Itu Luka” ini menjelaskan bahwa sekitar dua bulan yang lalu dia dihubungi oleh staf Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia diinformasikan sebagai calon penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru, yang direncanakan akan diberikan Selasa, 10 Oktober 2019.

Saat itu Eka mempertanyakan “Pemerintah bakal kasih apa?”, dan staf pemerintahan tersebut mengatakan, bahwa ia akan diberikan pin dan uang senilai 50 juta rupiah, dipotong pajak.

“Reaksi saya secara otomatis adalah, kok, jauh banget dengan atlet yang memperoleh medali emas di Asian Games 2018 kemarin? Sebagai informasi, peraih emas memperoleh 1,5 miliar rupiah. Peraih perunggu memperoleh 250 juta,” tulis Eka di laman Facebook-nya.

Pertanyaan itu mungkin terdengar iseng semata, akan tapi jelas ada latar belakang dibalik pertanyaan yang diajukan oleh sastrawan yang pernah terpilih sebagai salah satu sosok Global Thinkers of 2015 dari jurnal internasional Foreign Policy.

Lanjutnya, secara jujur Eka mengakui bahwa ia merasa terganggu dengan penghargaan ini. Baginya ini sangat kontras terasa, seperti menamparnya secara tidak langsung dan membuat ia bertanya-tanya lebih. “Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?” lanjutnya.

Meskipun terganggu dengan pertanyaan itu, Eka menuliskan ia sempat berpikir untuk mengambil uang dari penghargaan tersebut. Setelah itu kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Namun setelah surat resmi dikirimkan, pikirannya semakin dalam akan pertanyaan yang sempat ia ajukan di awal.

Pada dasarnya memang, memberi penghargaan terhadap sosok penulis di negeri ini tak akan menjadi berita heboh, apalagi trending topic di media sosial. Akan tetapi, ia pun kembali berpikir, terlepas dari kekesalan dan perasaan di-anak-tiri-kannya sastrawan di negeri ini. Selama beberapa hari Eka mencoba mengingat dan mencatat dosa-dosa Negara kepada kebudayaan.

Setidaknya ada beberapa yang masih ia ingat dan ia tuliskan dalam pernyataan di media sosialnya. Di antaranya adalah: Tindakan negara melalui aparat keamanannya yang menyeruduk toko buku kecil dan merampas buku-buku.

Mengenai hal ini, Eka mengatakan bahwa mungkin kita semua tahu, kasus seperti ini sering terjadi, dan besar kemungkinan akan terjadi lagi di masa depan. Negara bukannya malah memberi perlindungan kepada usaha perbukuan dan iklim intelektual dalam skala luas, yang ada justru Negara dan aparatnya menjadi ancaman terbesar.

Hal lainnya adalah, perihal industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para penulis yang semakin banyak menjerit karena ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku. Terlepas dari pajak perbukuan yang membuat buku terasa mahal bagi daya beli kebanyakan masyarakat. Eka kembali menanyakan peranan Negara dalam mengatasi pembajakan.

“Yang jelas, sudah selayaknya Negara memberi perlindungan. Jika perlindungan kebebasan berekspresi masih terengah-engah (ilustrasi: gampang sekali aparat merampas buku dari toko), setidaknya Negara bisa memberi perlindungan secara ekonomi? Meyakinkan semua orang di industri buku hak-haknya tidak dirampok?” terang Eka dalam tulisannya tersebut.

Semakin dalam ia memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal di atas, Eka semakin sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis (bahkan siapa pun?) atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan.

“Apa kabar penyair kami, Wiji Thukul? Presiden yang sekarang telah menjanjikan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk penghilangan salah satu penyair penting negeri ini. Realisasi? Nol besar,” terangnya.

Di luar urusan hadiah, Eka mengatakan ada hal-hal mendasar yang layak untuk membuat ia mempertanyakan komitmen Negara atas kerja-kerja kebudayaan. Dengan kesadaran berpikirnya, ia simpulkan, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, “Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan”.

Dengan kesadaran seperti itulah, Eka Kurniawan tegas mengatakan tak ingin menerima anugerah tersebut, dan menjadi semacam anggukan kepala untuk kebijakan-kebijakan Negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif.

“Suara saya mungkin sayup-sayup, tapi semoga jernih didengar. Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan,” tegasnya dalam tulisan.

“Terakhir, terima kasih sekaligus permohonan maaf untuk siapa pun yang telah merekomendasikan saya untuk anugerah tersebut.” tutupnya di akhir tulisan dengan menyertakan titi mangsa, 9 Oktober 2019.