pelantar.id – DPR RI resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( Antiterorisme) menjadi undang-undang pada rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5). Ada banyak penambahan substansi pengaturan yang baru di antaranya, bab pencegahan, ketentuan pidana bagi pejabat yang melanggar ketentuan dalam penindakan, dan lainnya.
“Selain itu, menambahkan juga ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif,” ujar Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi’i.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menyambut gembira disahkannya UU Antiterorisme ini. Menurut dia, undang-undang ini merupakan komitmen parlemen, agar negara efektif dan akuntabel dalam memberantas terorisme dan melindungi rakyat.
“Kita semua berharap teroris dapat ditumpas sampai ke akar-akarnya, apapun motif dan alasan sehingga seluruh rakyat merasa aman dan negara terlindungi,” kata Jazuli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (26/5) seperti dilansir dari Kompas.
Ia berharap, aparat keamanan dapat melakukan pencegahan dan penindakan yang lebih efektif, terutama dalam membongkar akar, motif, dan aktor intelektual terorisme. Apalagi, aparat kepolisian sebenarnya sudah bisa mengidentifikasi jaringan teroris.
“Melalui UU ini kita tegaskan tidak ada tempat bagi terorisme di negara kita,” kata anggota Komisi I ini.
Jazuli juga berharap, seluruh aparat terkait baik aparat intelijen, kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme maupun Tentara Nasional Indonesia dapat bekerja sinergis dalam memberantas terorisme secara terukur, akuntabel, dan tetap menjunjung supremasi hukum.
Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian langsung memberikan peringatan kepada organisasi teroris pasca disahkannya RUU Antiterorisme menjadi undang-undang. Undang-undang Antiterorisme yang baru, kata Tito, memberikan ruang kepada pemerintah untuk dapat mengajukan suatu organisasi sebagai organisasi teroris ke pengadilan.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Siwi Sukma Adji menegaskan, pasukan elite TNI AL, Detasemen Jalamangkara (Denjaka), siap dikerahkan dalam Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) untuk mengatasi aksi terorisme.
“Kesiapan TNI AL sebelum adanya Komando Operasi Khusus Gabungan sudah siap. Prajurit elite kita sudah siap, tinggal perintah Panglima TNI langsung saja,” ujarnya di sela-sela Pembacaan Memorandum Sertijab KSAL dari Laksamana Ade Supandi kepada Laksamana Siwi, yang digelar di atas KRI -591 Surabaya yang bersandar di Dermaga Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (25/5).
Koopsusgab merupakan gabungan dari tiga matra militer: Kopassus TNI AD, Detasemen Jalamangkara TNI AL, dan Detasemen Bravo 90 TNI AU. Satuan elite tersebut dibentuk pada awal 2015 oleh Jenderal (Purn) Moeldoko ketika menjabat Panglima TNI.
Menurut Siwi, dari tiga matra, pasukan elite yang disiapkan berjumlah 90 orang. Mereka yang terpilih memiliki keahlian khusus dalam hal penanganan aksi terorisme. Namun demikian, pasukan tersebut hanya bisa diturunkan apabila sudah ada keputusan politik, seperti Perpres dari Presiden Joko Widodo.
“Kalau itu ada perintah, ya kita laksanakan. Misalnya, operasi di Marawi (Filipina Selatan) yang langsung digelar dan sampai sekarang masih berlangsung antara tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina,” ujarnya.
Selain itu, pelibatan pasukan elite untuk menangani terorisme pun tidak perlu mengubah doktrin militer. Prinsipnya, TNI AL sangat siap apabila jadi dilibatkan dalam satuan Koopssusgab. Terkait UU Antiterorisme yang baru disetujui oleh DPR, Siwi menyambut baik dan pasukannya siap dikerahkan untuk membantu kepolisian mengatasi terorisme.
Diawasi Tim dari DPR
Undang-undang Antiterorisme yang baru juga memuat ketentuan pengawasan baru. Kini seluruh kinerja pemberantasan terorisme mulai dari pencegahan hingga penindakan diawasi tim dari DPR. Hal itu diatur dalam Pasal 43 J Undang-Undang Antiterorisme. Dalam pasal tersebut dinyatakan DPR membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi’i mengatakan, nantinya pengawasan akan dilakukan oleh Komisi I dan III DPR yang masing-masing membawahi pertahanan dan hukum.
“Pengawas itu dari anggota DPR dari Komisi I dan IIII. Memang secara fungsional Komisi I dan III memiliki fungsi pengawasan terhadap mitra kerjanya yakni aparat penegak hukum,” kata dia.
Ia mengatakan, tim pengawas berhak meminta perkembangan pemberantasan terorisme yang dikomandoi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Syafi’i mencontohkan, dalam insiden penyanderaan polisi di Markas Komando Brimob misalnya, tim pengawas berhak menginvestigasi dan memberi rekomendasi.
“Atau penanganan yang berlebihan, maka punishment seperti apa. Itu nanti yang akan jadi tugas dari tim pengawas,” katanya.