Penulis: H.M Chaniago

Seninya adalah gambaran mimpi yang diproyeksikan ke dalam kehidupan nyata, yang menekankan kontras antara aspek rapuh kemanusiaan dan kenyataan” – Anthony Vaccarello, Direktur Kreatif Saint Laurent

Pelantar.id – Wong Kar-wai, sutradara film nyentrik asal Hongkong, terpilih menjadi kurator untuk sebuah sekuel film pendek “Self” dari brand fashion kenamaan Saint Laurent.

Sutradara yang terkenal dengan puing-puing sinema berwarna-warni, warna-warna kaleidoskopik dan bidikan fragmen kamera gerak lambat yang membawa atmosfer perasaan terkesan efervesen.

Jadi, setelah penulis yang cukup provokatif seperti Bret Easton Ellis dan Gaspar Noé menjadi kurator dalam series “Self” sebelumnya. Laman resmi Saint Laurent menyebutkan, pemilihan Wong Kar-wai cukup alami untuk mengurasi series kelima “SELF” Saint Laurent.

Series kelima ini, seperti yang dijelaskan, disutradarai oleh fotografer Hong Kong Wing Shya yang mana menyajikan kisah tentang sebuah malam di Shanghai. Berlatar belakang introspeksi penemuan jati diri sejati dan perihal menentang status quo.

Sekilas series ini membangkitkan sisi emosional akan film-film karya Wong Kar-wai. Seperti tampilan palet warna yang tampak hidup dan jelas, mengingatkan kita pada sinematografi khas yang menembus batas kewajaran saat itu.

“Vaccarello, merupakan seseorang yang sangat menyukai seni. Bersama Saint Laurent Ia berbicara tentang cara ‘melanggar keseimbangan’ di era sekarang, Ia ingin brandnya berani dalam mengekspresikan jati diri orang-orang,” ujar Wong Kar-wai.

Sementara, Anthony Vaccarello, Direktur Kreatif Saint Laurent, saat membalas pujian yang dilontarkan Wong Kar-wai, mengatakan “[Kar-wai] membayangkan perasaan setiap individu; seninya adalah gambaran mimpi yang diproyeksikan ke dalam kehidupan nyata, yang menekankan kontras antara aspek rapuh kemanusiaan dan kenyataan.

Itu adalah proses yang sangat naluriah yang didasarkan pada rasa saling menghormati dan mengagumi, dalam film Wong Kar-wai, Vaccarello dapat menemukan dan merasakan fantasi Saint Laurent yang berani mengambil beragam konsekuensi alamiah.

 

Wong Kar-wai: Gagasan Tentang Cinta dan Kecelakaan antara Ruang dan Waktu

Wong Kar-wai seolah-olah terlahir sebagai sineas yang mampu menggambarkan rasa sakit, dan penderitaan yang dialami manusia karena perasaan cinta yang sungguh sangat menggoda.

Bagi sebagian penikmat film, mungkin karya-karyanya seumpama simfoni mempesona, yang terdiri dari luapan emosi yang tak terucapkan dan harapan tersembunyi yang kita simpan jauh di dalam kesendirian.

Wong Kar-wai menampilkan kisah-kisah percintaan yang begitu hancur dan terurai, namun tetap terlihat tenang dalam setiap tokoh-tokoh yang Ia tampilkan. Seperti sang penyendiri, pemimpi, dan orang-orang yang patah hati.

As Tears Go By sebuah langkah awal atau debut yang cukup sangat meyakinkan. Berlatar warna-warna mencolok, televisi-televisi, awan-awan yang bergerak, dan cetakan-cetakan huruf yang muncul silih berganti di setiap tempat dalam adegan sepanjang 1 jam 40 menit.

Itulah film debut Wong Kar-wai, memproyeksikan Andy Lau sebagai Ah Wah, yang terjebak dalam dua kisah paralel. Pilihan hidup berat seorang mafia muda. Jatuh dalam kabut cinta pada perempuan bernama Ngor (Maggie Cheung) dan sisi lainnya, jalinan hubungan emosional dengan Fly (Jacky Cheung) saudara triad-nya dalam lingkup mafia.

Hidup Wah dalam film debutnya Wong menggambarkan sisi dilematis manusia, pilihan untuk menjalankannya secara normatif tak Ia berikan pada setiap karakter di dalam film. Selalu ada kekecewaan, penantian, kehancuran yang dipadukan dengan kebahagiaan di suatu waktu.

Meski begitu bersama As Tears Go By lah Dia memiliki nilai tawar tersendiri dalam dunia persinemaan Hongkong dan China. Bahkan dikukuhkan sebagai sutradara Hollywood-nya Asia.

Sabda Armandio dalam tulisannya 59 Tahun Wong Kar-wai di laman Tirto.id menuliskan panjang lebar perihal karya sutradara ini, yaitu; orang yang jatuh cinta, atau jatuh cinta dengan gagasan jatuh cinta, yang sulit menghindari sikap ceroboh, merasa kelelahan, atau dalam situasi tertentu, menyedihkan.

Mungkin ketika kita mengalami nasib seperti tokoh Wah dalam As Tears Go By akan memilih mengeluh di media sosial dan lambat laun keluhan itu akan tertutup arus keluhan manusia lainnya di timeline beranda.

Tetapi jika kalian seorang gangster, kecerobohan dan rasa lelah akan menciptakan pecahan demi pecahan botol bir, letupan pistol, hingga darah. Yang disebutkan Armandio berpotensi merepotkan banyak pihak.

Tony Montana (Scarface, 1932) menjadi saksi dalam semesta latar berbeda akan pergolakan itu, tulis Armandio. Begitu juga Ah Wah, protagonis di As Tears Go By: Lelah, bosan bertarung, dan bosan berkumpul. Namun kenyataan hidup membawanya pada pilihan pahit yang kita sendiri pasti tak ingin mengalami. Atau ini gambaran dari Mati Bahagia, Albert Camus.

Pada dasarnya karya-karya Wong tidak didorong oleh tindakan dalam plot-plot ceritanya, akan tetapi dorongan itu datang dalam bentuk pikiran-pikiran karakternya sendiri, seperti; dihantui masa lalu, mereka yang menjadi perenung karena persoalan cinta, pun tentang kenangan dan waktu. Dan pada dasarnya, tak semua orang akan jatuh dalam mantra hipnosis Wong dari setiap karyanya.

Perihal ruang dan waktu, di dalam setiap film Wong juga suatu hal yang menarik. Setiap protagonisnya seolah-seolah berkutat dalam pergolakan ruang dan waktu yang menyulitkan. Perihal tempat dan situasi yang tak akan pernah bisa mereka hindari, baik ketika sendiri atau bersama orang yang tak mereka inginkan. Meski beberapa kali peluang untuk menghindar itu hadir, kenyataan tetap mengarahkan setia tokohnya dalam pergolakan hingga ke titik paling nadir.

Berikut 5 film terbaik Wong Kar-wai, jika kalian ingin menontonnya.

1. As Tears Go By (1988)
2. Chungking Express (1994)
3. Fallen Angels (1995)
4. In the Mood for Love (2000)
5. 2046 (2004)