pelantar.id – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membatalkan Peraturan OJK (POJK) Nommor 35/2018 tentang kebijakan uang muka alias down payment (DP) 0 persen untuk kredit mobil dan sepeda motor. Menurut YLKI, kebijakan itu berpotensi memunculkan masalah baru dan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat luas.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, syarat khusus untuk mendapatkan DP 0 persen sebagaimana klaim OJK pada praktiknya sangat mudah dimanipulasi. Karena selama ini syarat uang muka 30 persen untuk kredit mobil atau sepeda motor juga dengan mudah dimanipulasi. Akibatnya kredit sepeda motor tanpa uang muka pun berjalan terus, lancar tanpa kendala.
“Adanya syarat khusus untuk uang muka 0 persen oleh OJK potensi pelanggarannya sangat besar, sebagaimana ketentuan uang muka 30 persen,” ungkap Tulus melalui pernyataan tertulisnya, Senin (14/1/19).
Tulus menilai uang muka 0 [ersen hanya layak diberikan untuk kredit kendaraan untuk angkutan umum, bukan kendaraan pribadi. Selama ini yang terjadi malah sebaliknya, kredit untuk kendaraan umum diberikan dengan syarat yang memberatkan perusahaan angkutan umum.
Selain itu, uang muka 0 persen hanya layak diberikan untuk kendaraan bermotor yang ramah lingkungan, seperti mobil/sepeda motor listrik. Bukan kendaraan bermotor yang berbasis energi fosil.
Apalagi praktiknya kendaraan bermotor di Indonesia masih dominan menggunakan BBM jenis premium, yang sangat buruk dampaknya terhadap lingkungan.
“POJK No.35/2018 akan mendistribusi polusi udara, bahkan polusi suara, yang lebih masif; bukan hanya di ranah perkotaan tetapi juga ranah perdesaan,” tegas Tulus.

Uang muka 0 persen untuk kredit kendaraan juga semakin memicu kemiskinan baru di rumah tangga miskin. Hal itu dibuktikan sejak 10 tahun terakhir dimana kredit sepeda motor semakin menjamur.
Banyak rumah tangga miskin yang terjerat iming-iming kredit sepeda motor murah. Akibatnya, banyak sekali rumah tangga miskin yang semakin miskin karena pendapatannya tersedot untuk mencicil kredit sepeda motor, atau bahkan mengalami kredit macet atau gagal bayar.
“Uang muka 0 persen untuk kredit sepeda motor adalah jebakan batman yang amat mematikan bagi rumah tangga miskin,” ujar Tulus.
Kebijakan OJK kali ini juga dinilai sangat kontra produktif bagi lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia. Kemacetan di Jakarta akan makin parah karena nafsu untuk membeli kendaraan bermotor pribadi makin tinggi, akibat adanya insentif DP 0 persen untuk kredit kendaraan.
Buntutnya pembangunan infrastruktur transportasi masal seperti MRT/LRT dan Transjakarta akan mati suri. Masyarakat akan makin tidak berminat menggunakan angkutan umum masal, dan berpotensi ditinggalkan masyarakat atau mangkrak.
“YLKI mendesak dengan sangat agar OJK membatalkan POJK No. 35/2018. Salah satu tugas utama OJK adalah melindungi konsumen jasa finansial, bukan malah menjerumuskannya. Jika OJK tak membatalkan POJK itu, YLKI dan Jaringan Lembaga Konsumen Nasional akan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, pihaknya tetap memperhatikan aspek kehati-hatian meskipun membebaskan uang muka untuk kredit kendaraan. Uang muka nol persen hanya boleh diberikan perusahaan pembiayaan yang memiliki rasio kredit bermasalah (non-performing finance) di bawah satu persen.
“Ini yang betul-betul tingkat kesehatannya sehat, dan NPF harus di bawah satu persen, artinya ini juga kami memancing tolong NPF ini diturunin dan kesehatannya harus bagus,” kata Wimboh di Pertemuan Tahunan Industri Keuangan 2019, Jakarta, Jumat (11/1/19) malam.
Ketentuan DP nol persen ini tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 yang diterbitkan pada 27 Desember 2018 lalu dan dipublikasikan di situs resmi OJK pada Kamis (10/1/19). Dalam aturan sebelumnya, OJK menetapkan kewajiban DP untuk motor dan mobil paling rendah sebesar 5 persen dan paling tinggi sebesar 25 persen.
Wimboh mengungkapkan, OJK juga memiliki tujuan lain melalui kebijakan ini, yaitu guna mendorong konsumsi domestik. Kemudahan memperoleh fasilitas pembiayaan kendaraan bermotor diharapkan dapat mendorong produktivitas masyarakat dan selanjutnya meningkatkan pendapatan.
Ia menolak anggapan jika relaksasi ini dipandang hanya akan menjadi stimulus untuk sektor konsumtif. Menurutnya, relaksasi untuk mendapatkan kendaraan perlu didorong karena akan menjadi salah satu penggerak sektor produksi.
“Ini harus seimbang artinya kredit produksi memproduksi itu kan harus ada yang beli, tidak bisa produksi semua kalau tidak ada yang beli. Jadi antara produksi, konsumsi, ekspor, ini harus seimbang,” ujarnya.
*****
Sumber : Kontan.co.id