The Theatre of the World karya Abraham Ortelius. Foto Google

Indonesia itu tidaklah luas, jika kita tidak betul-betul mengukurnya. Namun jika anda adalah seorang pengelana, seruas jari jarak pada peta dengan skala 1:10.000.000 saja mungkin akan membuat badan luar biasa letih.

Secara fisik manusia adalah mahluk yang kecil, apabila dibandingkan dengan ukuran lingkungannya. Untuk memahami tempatnya hidup, manusia memerlukan konsepsi, sebuah gambaran yang menjembatani alam fikir dan kenyataan.

Peta, sebuah hasil kerja pemikir brilian selama ribuan tahun lalu membantu manusia mencapai berbagai keinginanannya. Dari bentuk yang paling sederhana, peta ikut mewarnai sejarah bangsa-bangsa besar di dunia. Karena peta juga banyak bangsa-bangsa kulit berwarna terbangun telah dikolonialisasi oleh pengelana dari belahan bumi lainnya.

Pemetaan (Kartografi) merupakan ilmu dan seni dalam pembuatan peta. Pertama kali, peta dibuat oleh bangsa Babilonia berupa lempengan berbentuk tablet dari tanah liat sekitar tahun 2300 Sebelum Masehi (SM). Pemetaan pada zaman Yunani Kuno mengalami kemajuan pesat. Pada saat itu, Konsep dari Aristoteles bahwa bumi berbentuk bola bundar telah dikenal oleh para ahli filsafat (sekitar 350 SM.) dan mendapat kesepakatan dari semua ahli bumi.

Artegak berbentuk tablet peninggalan bangsa Babilonia. Foto : Ancient.Eu

Pemetaan di Yunani dan Roma mencapai kejayaannya pada era Ptolemaeus (Ptolemy, sekitar 85-165 M). Peta dunia yang dihasilkannya menggambarkan dunia lama dengan pembagian Garis Lintang (Latitude) sekitar 60° Lintang Utara (N) sampai dengan 30° Lintang Selatan (S). Dia menulis sebuah karya besar Guide to Geography (Geographike Hyphygesis).

Sepanjang periode pertengahan, peta-peta wilayah Eropa didominasi oleh cara pandang berdasarkan agama. Saat itu, Jerusalem dilukiskan berada di tengah-tengah sebelah Timur yang diorientasikan menuju bagian atas peta.

Penjelajahan Bangsa Viking pada abad 12 di Utara Atlantik, secara perlahan menyatukan pemahaman mengenai bumi. Sementara itu, ilmu kartografi terus berkembang dengan lebih praktis dan realistik di wilayah Arab, termasuk daerah Mediterania. Tentu saja, cara pembuatan peta masih dilukis dengan tangan, dan penyebarannya masih sangat dibatasi.

Peta Adalah Kunci

Pada masa moderen, berbagai bisnis tergantung pada kemampuannya memangkas jarak. Meskipun tidak tepat betul kalimat memangkas jarak, sejatinya bermaksud untuk mendeskripsikan penghematan waktu tempuh pada rentang jarak tertentu. Kuncinya adalah, memilih rute terpendek tanpa salah jalan.

Sebut saja bisnis transportasi online, baik yang menggunakan kendaraan beroda dua seperti Gojek, Grab, maupun empat semilas Uber, kemudian bisnis ekspedisi, pengiriman barang, kurir dan sejenisnya. Mereka mengandalkan layanan cepat, di tengah semakin padatnya jalan raya dengan berbagai isinya. Pada titik itu, sebuah peta telah berkembang sangat pesat, kawin mawin dengan temuan teknologi kompas dan sejenisnya, menjadi kecil hanya sebesar gawai elektronik yang mengandalkan kinerja satelit dan gelombang radio.

Awalnya selembar peta adalah petunjuk untuk mencari barang dagangan dan memperluas daerah kekuasaan para penguasa Barat. Sejak abad pertengahan, Laut Tengah yang merupakan titik temu antara pedagang Barat dan Timur begitu ramainya. Pascakejatuhan Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani pada tahun 1453, akses terhadap komoditas rempah-rempah menjadi terbatas. Peta kemudian memegang peranan penting berbagai ekspedisi yang kala itu dikenal sebagai Gold Glory and Gospel (3G). Peta pulalah yang mengantarkan nama-nama besar seperti Christoporus Colombus, Magellan Del Cano, Afonso d’Albuquerque mencapai daerah baru.

Kecanggihan pemosisi global atau Global Positioning System/GPS saat ini mungkin tidak akan ditemukan tanpa melalui era kejayaan pemetaan pada abad pertengahan. Adalah Johannes Gensfleisch zur Laden Gutenberg atau lazim dikenal hanya sebagai Johannes Gutenberg yang mengilhami perkembangan pesat pemetaan.

Mesin cetak Gutenberg. Foto : CyanPappirus

Setelah penemuan mesin cetak, berbagai intisari pemikiran filsuf dan kitab suci mulai dicetak secara massal. Mesin Gutenberg, demikian karya pandai besi itu dikenal ikut andil menyebarkan karya seorang kartograf ke berbagai penjuru bumi. Satu yang tersohor adalah Abraham Otelius, seorang Flemish (Belgia pada dunia moderen).

Penemuan alat cetak Gutenberg pada abad ke 15 membuat peta semakin banyak tersedia. Peta pada mulanya dicetak menggunakan papan kayu yang sudah diukir dan ditimpakan ke lembaran kertas. Percetakan dengan menggunakan lempeng tembaga yang diukir muncul pada abad 16 dan tetap menjadi standar pembuatan peta hingga teknik fotografis dikembangkan.

Kemajuan utama dalam pembuatan peta mendapat perhatian sepanjang masa eksplorasi pada abad 15 dan 16. Para pembuat peta mendapat jawaban dari Navigation Chart yang menyajikan garis pantai, pulau, sungai, pelabuhan dan simbol-simbol pelayaran, termasuk garis-garis kompas dan paduan navigasi lainnya.

Peta-peta ini membutuhkan biaya yang tinggi dan hanya digunakan untuk tujuan militer dan diplomatik, serta hanya dimiliki oleh pemerintah sebagai dokumen rahasia negara.

Pertama kali peta dunia disajikan secara utuh pada awal abad 16, meneruskan pelayaran dari Colombus dan yang lainnya untuk mencari dunia baru. Gerardus Mercator dari Flandes (Belgia) menjadi ahli pembuat peta terkenal pada pertengahan abad 16. Ia mengembangkan proyeksi silindris yang semakin luas digunakan untuk Navigation Chart dan peta global. Berdasarkan pada proyeksi ini ia menerbitkan sebuah peta pada tahun 1569 yang mengilhami peta lain setelahnya.

Pandangan Tentang Bumi Menjadi Kian Utuh

Tangkapan layar GPS. Joko Sulistyo

Abraham Ortelius adalah tokoh kunci peta moderen. Hari ini, 20 Mei 1570, Ortelius pertama kali mempublikasikan kumpulan peta moderennya dalam sebuah cetakan, yang saat ini kita kenal sebagai atlas. Dia berhasil mengumpulkan berbagai informasi dari para ilmuwan, ahli geografi, dan kartografer dan menyatukannya dalam atlas moderen tersebut.

Tidak hanya peta, Ortelius bahkan dipercaya sebagai orang pertama yang menduga benua-benua di bumi dulunya menyambung satu sama lain. Dugaan itu merupakan sumbangan penting untuk perkembangan ilmu bumi hingga menjadi seperti saat ini. Lahir di Antwerp pada 14 April 1527, Abraham Ortelius adalah seorang peminat ilmu sejati.

Sepanjang usianya dia adalah seorang humanis yang menyukai kasusastran klasik, sejarah, dan ilmu pengetahuan populer. Hingga meninggal di kota kelahirannya pada tahun 1598, Ortelius tetap menjadi sosok yang dihormati di kalangan cerdik pada masa itu karena dia berhasil memberikan warna lain pada ilmu bumi.

Ortelius adalah pelita yang menerangi berbagai macam pemahaman keliru dan fakta sumir. Pada masa itu, sebuah peta masih bercampur dengan spekulasi, fakta dan gambaran fantasi tentang rupa bumi.Karya atlas yang diterbitkannya dengan judul Theatrum Orbis Terrarum atau The Theatre of the World sontak mendapat perhatian dari berbagai kalangan.

Atlas yang disajikan Ortelius itu memuat 53 peta yang mencakup negara-negara yang ada di dunia pada saat itu. Istimewanya, Ortelius berhasil memberikan paparan bentuk dan ukuran benua, hingga keragaman budaya penghuninya dalam karyanya tersebut. Publikasi Ortelius diterima luas, yang kemudian beberapa kali diterbitkan ulang dengan berbagai pembaharuan data.

Peta Asia.Abraham Ortelius

Pada tahun 1622, The Theatre of the World mencapai edisi terakhir, dan peta yang dikandungnya telah bertambah menjadi 167 peta. Atas segala bentuk usaha dan pencapaiannya, dia kemudian diangkat menjadi ahli georgrafi Raja Philip II dari Spanyol pada tahun 1575.

Ortelius tak hanya mewariskan konsepsi rupa bumi pada kita, namun juga memberikan kita gambaran tren pada masa itu. Seperti legenda pada peta, berbagai gambar mahkluk yang mungkin hanya mitologi bagi kita hadir dalam karya Ortelius. Mulai dari naga hingga mahluk-mahluk aneh penghuni lautan.

Terlepas dari fakta atau fiktifnya mahluk dalam lembaran karya Ortelius, sudah sewajarnya kita mengapreseasi sumbangan atlas dari maestro itu. Tak berlebihan jika hari bersejarah ini dicatat oleh mesin pencari google dalam tema doodlenya.

Jika hari ini, 20 Mei 448 tahun lalu Ortelius tidak mempublikasikan kumpulan peta, mungkin kita belum dapat mengatur temu janji dengan pengemudi Gojek, atau memasarkan makanan dengan fitur GoFood. Meskipun tidak mendasari secara langsung, karya Ortelius tidak dapat dikesampingkan dari perkembangan data koordinat yang memudahkan kita berpindah dengan ride sharing moderen saat ini.

Joko Sulistyo
Dari berbagai sumber